Monday, April 1, 2013

BIOFUEL: BISAKAH?


"Dua dekade terakhir, terdapat metamorfosis pemikiran yang menelaah pergerakan ekonomi yang terus bergeser menuju segala sesuatu yang bersifat ramah lingkungan."
Pemikiran tersebut mengejawantahkan dirinya kepada khalayak umum ketika Protokol Kyoto diluncurkan tahun 1998. Sejak itu berkembangbiaklah jumlah negara yang berlomba untuk mengembangkan teknologi tepat guna untuk menyokong pengelolaan sumber energi terbaharui dan ramah lingkungan. Varietas sumber yang menjadi pilihan pun menyembul ke permukaan dan menjadi bahan pembicaraan. Mulai dari matahari, air, hingga tumbuh-tumbuhan menjadi primadona baru yang dipuja masyarakat dunia. Tujuannya satu, mengurangi laju perubahan iklim yang kian ekstrim. Artikel ini akan mengulas sejumlah hal terkait salah satu sumber energi tersebut: biofuel.




Dengan harga minyak bumi dunia yang terus meningkat (saat ini sekitar US$ 97 per barel), bahan bakar yang umumnya dalam bentuk ethanol dan gas ini dianggap mampu menjadi pesaing dalam kancah sumber energi internasional. Penggunaannya yang menghasilkan kadar karbondioksida sebanyak jumlah yang diserap oleh tanaman tersebut mampu mereduksi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Bahkan E85, campuran ethanol biofuel 85% dengan bensin, mampu mengikis polusi udara hingga 37%. Sangat menjanjikan memang bila kita benar-benar ingin mengurangi kerusakan alam tanpa melupakan produktivitas kerja.





Di Indonesia sendiri, pemerintah telah menyatakan komitmennya untuk mengembangkan potensi biofuel sebagaimana dijelaskan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 yang berhubungan dengan penyediaan dan pemanfaatan biofuel sebagai bahan bakar alternatif yang bertujuan untuk memperkuat ketahanan nasional. Namun, pelaksanaannya tidak semulus yang diinstruksikan. Bila ditinjau dari hasil produksi kelapa sawit (Crude Palm Oil, CPO) saja misalnya, terus mengalami pemerosotan jumlah produksi. Hal tersebut terjadi karena para produsen CPO saat ini lebih memilih untuk mengekspor dibandingkan memasok industri nasional. Hal ini sangat merugikan karena ketahanan nasional belum terpenuhi dengan baik melalui sektor industri ini. Kegiatan ekspor yang dilakukan produsen CPO tersebut diduga memiliki keterkaitan dengan Korea Selatan yang telah mengincar sektor industri terkait sejak 2010 dengan mengucurkan hibah penelitian sebesar US$ 2,2 juta untuk dana penelitian dan US$ 500 ribu untuk pembangunan laboratorium penelitian di Serpong.

Dalam The Biofuel Delusion, Mario Giampietro dan Kozo Mayumi justru skeptis bahwa pengembangan biofuel dapat menyelesaikan masalah ketika diproduksi dalam skala besar. Mereka memperkirakan sejumlah hal seperti kenaikan harga pangan, anggaran belanja pemerintah, dan harga konsumsi mampu memicu terjadinya permasalahan kompleks. Lebih jauh lagi, kesalahan manajemen dan eksploitasi di bidang ini mempunyai potensi menciptakan bahaya kelaparan global. Sehingga biofuel yang dianggap mampu menjadi solusi, kelak justru hanya menjadi cerita dongeng dengan sad ending belaka.

Bagaimanapun, bahan bakar yang memiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia bahan-bakar hayati ini telah dipergunakan oleh sejumlah negara seperti Amerika, Brasil, dan beberapa negara Eropa. Saat ini, Amerika dan Brasil menjadi negara produsen paling unggul di bidang ini dengan menyuplai 90% hasil produksi biofuel dunia. Hal ini akan menjadi sesuatu yang ironis bagi kita bila tidak mampu bersaing sebagai produsen biofuel seperti mereka, mengingat di Indonesia, tongkat kayu dan batu bisa jadi tanaman. (Sigit Jaya Herlambang)

Sumber: KYOTO PROTOCOL TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (teks dapat diunduh di unfccc.int);  Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 (teks dapat diunduh di setneg.go.id); The Biofuel Delusion (buku); oil-price.net (website);  Korea Selatan Incar Biofuel Indonesia (artikel tempo.co dipublikasi KAMIS, 18 AGUSTUS 2011, 14:50 WIB)

No comments:

Post a Comment