Friday, April 5, 2013

TV 3D



"Sejak kemunculannya pertama kali, televisi (tv) tercatat mengalami dua kali fase peralihan yang menakjubkan. Pertama, ketika tv hitam-putih digusur oleh tv berwarna. Kedua ketika tv tiga dimensi (tv-3D) muncul di toko-toko elektronik."

Sensasi menonton 3D tidak serta-merta dirasakan dalam tv. Perlu perjalanan panjang sejak pelukis renaisans Leonardo DaVinci, Wheatstone, hingga akhirnya William Friese-Greene membuat hak paten atas film stereoskopik menggunakan dua buah layar. Ide tersebut muncul dan dikembangkan lebih lanjut pada film pendek L'arrivee du train (1903) dan disusul oleh film 3D komersial pertama The Power of Love (1922) dengan kacamata anaglyph. Kemudian ia tenggelam dan muncul sesaat pada era 50-an melalui Bwana Devil dan House of Wax, lalu dilupakan kembali. 


Generasi pertama tv-3D yang benar-benar menarik perhatian industri perfilman muncul 40 tahun setelah meledaknya film Bwana Devil. Sejumlah film seri (seperti kartun Remi) menggunakan kacamata berbeda warna di kiri warna biru dan di kanan warna merah (tahun 90-an dijual sekitar Rp2000,- sampai Rp5000,-). Bila diperhatikan, akan terasa sekali dominasi warna biru dan merah pada film bila tidak memakai kacamata anaglyph. Ketika menggunakan kacamata tersebut, gambar di film akan terlihat memiliki perbedaan kedalaman gambar yang disebabkan gambar merah yang difilter oleh lensa warna merah dan gambar biru yang difilter lensa warna biru. Perbedaan kedalaman gambar tersebutlah yang diinterpretasikan oleh otak kita sebagai gambar 3D.

Usaha untuk terus mendorong teknologi yang memungkinkan penonton melihat gambar 3D terus dilakukan. Kacamata yang berikutnya diproduksi tidak menggunakan perbedaan warna lensa, melainkan dengan membuat gambar tidak mampu melewati salah satu lensa. Kemudian gambar yang sama dengan perspektif berbeda masuk ke lensa yang lain sementara lensa yang awalnya menerima gambar kini tertutup. Kejadian yang berlangsung sangat cepat berdampak pada tidak terdeteksinya kejadian tersebut sementara otak menginterpretasikan adanya perbedaan kedalaman gambar yang dilihatnya. Kacamata ini sukses menggeser popularitas kacamata anaglyph karena penonton tidak harus mengalami distorsi warna yang kerap terjadi.

Kacamata polarisasi konvensional dikembangkan lebih jauh dengan metode Film-type Patterned Retarder atau FPR (hingga saat ini masih terus disempurnakan). Teknologi ini memberikan gambar 3D yang lebih alami dan lebih hidup, seperti layaknya menerima efek 3D secara nyata. Film yang terdiri dari sejumlah set gambar dengan berbagai perspektif ditampilkan oleh panel tv. Kacamata polarisasi yang mem-filter cahaya datang pada sudut tertentu menampilkan gambar yang dilihat oleh penonton bergantung pada posisinya. Tv 3D jenis inilah yang kini lebih digemari disebabkan oleh tidak terjadinya efek biologis (seperti  pusing) jika terlalu lama menonton film 3D seperti yang kerap terjadi pada kacamata polarisasi konvensional.  


Penikmat film mungkin memiliki ekspektasi tinggi bagi perkembangan film selanjutnya. Meski sejak 2005 kemajuan film 3D sudah cukup luar biasa, tak menutup kemungkinan suatu saat nanti akan muncul film virtual yang benar-benar membuat penonton merasa ada di dalamnya. Akan tetapi penulis secara personal berharap semoga setelah tv-3D tidak ada lagi perkembangan dalam dunia pertelevisian. Apalagi jika sampai ada hantu yang keluar dari tv seperti pada film The Ring. (Sigit Jaya Herlambang)

Sumber: 3D Liquid Crystal Display with Patterned Retarder Film and Single Polarizer (teks dapat diunduh di http://ddlab.hanyang.ac.kr); A Low-Power Fractional-Order Synchronizer for Sync-Less Time-Sequential Synchronization of 3DTV Active Shutter Glasses (teks dapat diunduh di kaist.ac.kr); Fast polarization switching panel with high brightness and contrast ratio for three-dimensional display (teks dapat diunduh dhttp://www.ncbi.nlm.nih.gov); 3dgear.com (web); ign.com (web)

Bacaan lanjut dapat diunduh dari jurnal-jurnal internasional seperti Historical Journal of Film, Radio and Television tandfonlineHistorical Journal of Film, Radio and Television history online, dan Film & History: An Interdisciplinary Journal of Film and Television Studies Project Muse.

No comments:

Post a Comment